[cerpen] MALAM PERJAMUAN TERAKHIR

cerpen karya: HARAS

ilustrasi via Puxabay: OpenClipart-Vectors


    Inginnya sederhana. Sebelum meninggal dunia, Mak Tinah hanya ingin melihat keduabelas anaknya pulang kampung bersama, duduk berkumpul dalam satu meja makan, berbincang dan bercanda seperti waktu dulu saat almarhum suaminya masih ada. Tapi ia tahu, kesemua anaknya telah sibuk menjadi orang tua dan punya tanggungan keluarga masing-masing.

    Rata-rata anaknya merantau ke luar pulau. Ponadi, misalnya. Anak tertua itu sekarang hidup di Kalimantan Barat bersama dua adiknya: Mashudi dan Mas’ud. Mereka semua bekerja menjadi buruh sawit di lahan milik negara yang dikelola swasta. Almarhum suami Mak Tinah memang pernah berpertuah, bahwa kerja menjadi apa saja dan di mana saja tak jadi masalah, asalkan itu halal. Namun yang jadi masalah, sudah 5 tahun ketiga anaknya itu tak kunjung pulang kampung menjenguk Mak Tinah yang sekarang, rambutnya makin pudar seperti belukar.

    Sementara anaknya yang kembar, Tono dan Tini kini hidup di pulau yang sama, Papua. Tono tinggal di wilayah Sorong ikut kontraktor batubara, sedang Tini hidup di daerah Tembagapura ikut suaminya yang bekerja di tambang emas. Kedua anak kembar itu malah lebih parah lagi. Mak Tinah bahkan sampai lupa, kapan terakhir Tono dan Tini pulang menjenguknya.

    Sebenarnya Mak Tinah bukanlah orang tua yang rewel. Ia membebaskan anak-anaknya untuk pergi merantau ke mana saja. “Tapi ingat, ya,” kata Mak Tinah memberi pesan tiap kali anak-anaknya hendak pergi mengembara. “Yang penting kalian jangan pernah tinggalkan sholat, sebab itu yang utama.” Semuanya mengamini. “Dan juga satu lagi,” lanjutnya. “Emak tak peduli kalian nanti mau jadi apa di sana. Tapi paling tidak, pulanglah sesekali. Setahun sekali juga tidak masalah. Kita lebaran sama-sama di rumah ini, ya.” Namun sayang, untuk pesan yang kedua ini anak-anaknya tidak bisa menepati janji, kecuali hanya Wulandari, anak perempuan paling bungsu yang masih sering merayakan lebaran di kampung halaman.

***

    Siang ini bakda lohor Mak Tinah sudah menghubungi Wulandari sebanyak 7 kali, dan sebanyak itu pula panggilannya tak dijawab. Dengan HP jadul yang masih menggantung di telinga, Mak Tinah hanya bisa membatin, Wulandari pasti sedang bekerja, dan itu artinya ia tidak bisa diganggu sampai nanti pabriknya tutup di waktu surup.

    Kan sudah Ndari bilang, Mak. Di pabrik itu ngobrol saja tidak boleh. Apalagi pegang Hp. Bisa dipecat aku nanti.” Selepas pulang kerja, Wulandari segera menghubungi Mak Tinah setelah di layar ponselnya tertulis: 15 panggilan tak terjawab.

    Ya aneh, Nduk. Mosok ngobrol saja tidak boleh? Kamu itu lagi kerja atau dikerjain, sih?”

    Wulandari mendesah. Sebenarnya dia sangat lelah lantaran sejak pagi juragannya marah-marah—barangkali, seperti halnya juragan-juragan di tempat lainnya, urusan rumah tangga memang kerap terbawa-bawa sampai tempat kerja. “Ya itu memang sudah jadi aturan pabrik, Mak. Mau gimana lagi?

    Kamu itu sebenarnya mau pulang kapan, Nduk? Ini sudah puasa hari ke 20. Lebaran kemarin kamu juga nggak jadi pulang, kan? Mosok lebaran ini nggak jadi pulang lagi?

    Aduh, Mak. Nggak bisa sekarang-sekarang ini. Tahu sendirilah lagi musim korona. Ini aja Ndari juga baru dapat kerja. Mas Pono—mantu pilihanmu itu—malah masih nganggur sampai sekarang. Di rumah kerjaannya cuma main burung saja. Korona, Mak, Korona! Apa-apa lagi susah, anak-anak nggak sekolah, cari duit juga susah; bisa makan sudah alhamdulillah. Lagipula ya, Mak, biaya pulang kampung itu nggak murah. Harus beli ini dan itu. Harus naik ini dan itu. Belum lagi ini dan-itu dan-ini dan-itu...” Dan seribu-satu macam alasan diberikan Wulandari, seperti sedang membaca naskah drama yang sudah disiapkan baik-baik di dalam kepalanya.

    Mak Tinah hanya bergeming. Janda tua itu nyaris menitikkan air mata. Telepon dibiarkan menggantung di telinga, mendengarkan anak bungsunya yang sekarang sudah pandai berbicara. Pikirannya tiba-tiba melayang ke masa-masa dulu ketika Wulandari masih belajar berbicara, mengucap satu-dua kata dengan pelat, oh betapa lucunya.

    Halo, Mak? Halo?”

    “Ya, ya.”

    “Pokoknya Ndari nggak bisa pulang lebaran ini, ya!

    Mak Tinah berusaha menghimpun udara hingga sampai memenuhi rongga dada dan langsung mengeluarkannya dengan lantang. “Bilang sama kakak-kakakmu! Kalian semua harus pulang lebaran tahun ini. Tidak usah bawa anak-istri. Emak mau bagi-bagi warisan! Yang tidak pulang, pokoknya tidak akan kebagian jatah warisan! Ngerti?

    Sambungan terputus. Wulandari lekas-lekas menghubungi kesemua saudaranya pada saat itu juga!

***

    Rumah yang biasa sepi itu mendadak ramai di malam lebaran tahun ini. Keduabelas anak Mak Tinah serentak pulang kampung. Mereka sangat bersemangat. Barangkali mereka memang kangen dan ingin menjenguk emaknya itu(?) Atau mungkin, mereka bersemangat lantaran akan dibagikan warisan(?) Entahlah. Tak ada yang tahu. Tapi yang jelas, mereka pulang tak membawa anak-anak dan suami atau istri, sebagaimana titah Mak Tinah hari lalu.

    Malam ini bertepatan dengan malam kemenangan; besok pagi hari raya. Dengung takbir saling bersahutan dari corong musala, bertabrakan dengan bunyi kembang api. Ramai sekali. Sementara di dalam rumah Mak Tinah tak kalah ramainya. Keduabelas anak itu duduk dan berkumpul dalam satu meja makan, berbincang dan bercanda sembari menikmati hidangan paling sedap di dunia: opor ayam, ketupat, sambal goreng ati, telur puyuh sambal balado dengan taburan bawang goreng di atasnya, dan semua itu dimasak Mak Tinah hari lalu.

    Di ruangan itu terdapat meja makan berukuran cukup besar yang berbentuk persegi panjang. Meja makan itu mempunyai total 14 kursi (dengan perician:) 6 kursi di sebelah kanan, 6 kursi di sebelah kiri, dan masing-masing 1 kursi di setiap ujungnya. Dulu, setiap kursi akan diisi tuannya sendiri-sendiri. Tapi kini, di malam takbiran tahun ini, dua buah kursi di ujung kanan dan kiri terlihat kosong tak terduduki.

    Mak, sinilah kumpul, kita makan dulu,” panggil Wulandari kepada Mak Tinah yang malah duduk menyendiri di sofa ruang depan. Entah mengapa, selepas tadi sholat isya, emaknya lebih suka menyendiri di sana, duduk termenung dengan masih mengenakan mukena. Mata tuanya tampak sayu menerawang ke arah luar. Pintu depan sedikit terbuka. Bunyi takbir menyelinap. Kembang api meledak di angkasa. Sementara di sekitar pekarangan, bunga melati berguguran kelopaknya, satu demi satu. Seperti sedang menunggui sesuatu, Mak Tinah tetap termenung di situ.

    Mak, Sinilah, Mak!

    Sudah, Ndari, sudah. Biar saja. Mungkin emak mau cari angin dulu,” sergah Ponadi, yang sedari tadi perutnya sudah berbunyi. Wulandari menatap kesemua saudaranya, dan tidak ditemukan tanda-tanda keberatan di wajah mereka. Maka acara pun dimulai meski itu harus tanpa Mak Tinah yang masih bersikeras menyendiri di sofa depan sana.

    Malam perjamuan berlangsung meriah!

    Seketika terdengarlah bunyi riang sendok makan yang beradu dengan garpu di atas piring-piring, seriang gelas-gelas ditungai air sirup, teh, maupun air putih. Es batu tidak lupa ditaruhkan ke dalamnya. Di atas meja makan itu, benda-benda tampak riang saling bersentuhan. Sesekali diselingi dengan bunyi ledak tawa, canda, dan obrolan omong-kosong lainnya. Keduabelas anak itu benar-benar menikmati perjamuan malam ini, serta tidak lupa memberikan 2 jempol untuk opor buatan emak yang memang tidak ada tandingannya—tapi Mak Tinah tetap termenung dan tidak menggubris pujian itu.

    Di atas meja makan, obrolan dibuka dengan topik-topik ringan: pekerjaan, karir, peluang usaha ternak lele dan tanaman hidroponik yang belakangan ini sempat ramai. Lalu, entah siapa yang memulai, obrolan berubah menjadi berlomba-lomba untuk membanggakan putra-putrinya; suami-istrinya; calon-calon mantunya, bahkan ada yang mencatut nama besar tetangga rumahnya di perumahan. Masing-masing ingin dibilang hebat, sukses, memiliki karir cerlang, tak peduli jika itu sebenarnya hanya omong-kosong belaka. Sebab bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri jika keduabelas anak itu sedang mengincar jatah warisan yang akan dibagikan malam ini.

    Tidak terasa, malam pun bertambah larut.

    Di atas sofa, Mak Tinah malah pulas tertidur. Mungkin kecapaian, mungkin memang sudah jam tidurnya, sehingga keduabelas anak kompak mengatakan tidak perlu membangunkannya. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan piring-piring yang tadinya berisi opor ayam sudah ludes sekarang. Sebagian piring itu sengaja dibiarkan tergeletak di atas meja makan, dijadikan wadah putung rokok. Sementara sebagian lain sudah dibawa Wulandari ke tempat cucian. Lalu, di atas meja makan itu, dimulailah percakapan paling inti dan yang paling ditunggu-tunggu.

    Sekarang, kita tidak usah menjadi orang yang munafik. Selain pulang kampung untuk menengok emak, kita juga ingin bicara masalah pembagian harta warisan, kan?” Ponadi semacam memberikan mukadimah. Semua hadirin terlihat antusias. “Jadi, gimana kalau kita mulai saja pembagiannya?

    Kapan?”

    “Ya sekarang.”

    “Aku...”

    “Aku dulu...”

    “Aku!

    Mendadak situasi jadi ramai dan ricuh. Di atas meja makan itu tiba-tiba menjadi ajang kompetisi menyebutkan kebutuhan-kebutuhan yang selama ini menjadi tanggungan beban masing-masing orang. Semuanya merasa berhak mendapatkan warisan paling banyak. Ada yang berhutang kepada bank, ada yang punya kewajiban angsuran, dan masih banyak lagi yang diada-adakan, dan semua berkaitan dengan: aku butuh uang! Maka demi memeroleh keadilan, semuanya bersepakat dan menunjuk Mashudi—dipercaya paling alim di antara mereka—untuk memberikan tuntunan hukum fikih berkaitan dengan cara pembagian harta warisan yang sesuai syariat islam. Sementara itu, Mak Tinah makin lelap di sofa ruang depan.

    ***

    Kini, jam dinding sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, tapi rupanya belum ada mufakat yang diambil. Semuanya masih ngotot—dengan cara bersitegang—berusaha mendapatkan jatah warisan paling banyak dan tak mau dirugikan. Acara perjamuan makan malam berubah seketika menjadi medan perang. Suara piring yang beradu dengan sendok berubah pula menjadi hentakkan telapak tangan yang menggebrak meja makan. Dan di tengah keributan itu, tiba-tiba angin berembus, membuat pintu depan terbanting sangat keras! Sekejab semua terdiam, dan menoleh ke arah sumber suara.

    Di sofa ruang depan, bibir Mak Tinah terlihat memunculkan buih yang berwarna putih. Badannya pun mengejang. Keringatnya deras bercucuran.
    
    Saat itu hanya Wulandari yang sigap dan beranjak dari kursi menghampiri emaknya. Dipenganglah tangannya, diteliti nadinya, juga dirasakan embusan napas di hidungnya—Wulandari menggeleng pasrah. Hasilnya nihil, tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana. Semua orang mematung terdiam menatap Wulandari yang berjalan kembali ke arah meja makan.

    Gimana, Ndari? Emak kenapa?” tanya seseorang, tetapi Wulandari tak memberi jawaban. Matanya menatap kosong. Semua orang di atas meja makan itu menjadi diam. Mereka kembali duduk di kursinya masing-masing, menatap emaknya dari kejauhan yang sudah tak bergerak lagi.

    Ndari? Emak kenapa? Emak meninggal, ya?

    Iya.

    Yasudah kalau begitu. Kita yang sabar saja, ya.”

    Lalu, di atas meja makan itu, keduabelas anak-anak kembali melanjutkan pertengkaran mengenai pembagian harta warisan, seperti baru saja tak terjadi apa-apa di sofa depan sana[.]



Yogyakarta, 2020

Post a Comment

0 Comments