cerpen karya: HARAS
ilistrasi via pandit footbal |
Sebutir bawang. Empat buah cabai rawit. Sepiring nasi putih dan wajan berkerak hitam. Setelah minyak memercik, kau tumis bumbu dasar yang telah dihaluskan. Semerbak aromanya menyergap hidungku. Di depan gerobakmu tertulis: Halal! Nasi Goreng Garuda—tentu, kau memakai nama itu.
Aku tahu tempatmu bukanlah di sini. Dulu, julukanmu Panglima Lapangan. Kau kerap membuat tusukan mematikan ke jantung pertahanan lawan. Sesekali kau turun membantu pertahanan agar gawang tak kebobolan.
Edi Supono, nomor punggung tiga belas, menggiring si kulit bundar. Begitu pekik komentator masih kukenang. Saat itu pertandingan berjalan sengit, Garuda Merah Indonesia melawan Macan Loreng Malaysia. Kedudukan sementara masih imbang satu-sama.
Memasuki menit tujuh puluh stadion Gelora Bung Karno seperti dibakar api. Merah menyala. Gegap gempita. Usai melakukan operan satu-dua, kau melesat dari sisi sayap kiri. Dumm! Suara petasan meledak di pinggir lapangan. Bola di kakimu terus melaju secepat peluru, hingga datang satu bek lawan mencoba menghadang—tapi mana mungkin peluru dapat dihentikan?
Suporter melonjak. Kau menusuk ke kanan; ke jantung pertahanan lawan. Kupikir saat itu hanya ada dua hal yang dapat menghentikanmu. Yang pertama adalah Dewi Fortuna berpihak pada lawan—seperti kau terpelanting atau semacamnya. Yang kedua adalah menjegalmu dari belakang. Dan, rupanya cara kedua yang dipilih oleh lawan.
Peluit pelanggaran berbunyi; wasit segera menunjuk titik putih. Suporter bersorak. Komentator berteriak. Semua orang bergembira—termasuk aku dan ayah di depan televisi—namun satu yang tak ikut merasakannya, yaitu dirimu. Kau menangis ditandu ke luar lapangan. Dan setelah itu cederamu, kakimu, serta dokter yang merawatmu, semua memberi satu nasihat sama: kau harus gantung sepatu.
Rasanya inginku bertanya, setelah masa pensiun, masihkah ada garuda di dadamu? Namun kuurungkan niatku sebab kau tengah sibuk memasak pesananku. Tanganmu begitu tangkas memainkan spatula, sebagaimana tangkas saat dulu kau bermain sepak bola. Sesekali kau ketuk wajanmu serupa penjaja nasi goreng pada umumnya. “Dari mana asalmu, Dik?” tanyamu ramah. Tentu saja sama sepertimu, Pak. Aku berasal dari rahim ibu pertiwi.
Beberapa tahun lalu seorang wartawan senior pernah bertanya padamu, apakah kau kecewa terhadap cedera yang mendera dan memaksa dirimu menuju ke muara akhir perjalanan di dunia sepak bola? Pertanyaan bodoh! Seorang wartawan senior menanyakan pertanyaan panjang nan bodoh. Namun saat itu jawabanmu mengejutkan. Katamu, “Bagaimana mungkin aku kecewa setelah berjuang untuk ini?” Kau pukul dadamu. Ada garuda bertengger di sana.
Rupanya jawabanmu segera merangsang wartawan lain untuk bertandang ke rumahmu. Bukan untuk menyantuni, tapi urusan bisnis murni. Mereka memberondong pertanyaan: apa rencanamu setelah ini, apa kau kecewa terhadap pemerintah dalam menangani atlet-atletnya, dan beberapa penulis ikut andil mengajukan pertanyaan, dari mana asalmu, siapa nama orang tuamu, bagaimana awal karirmu di dunia sepak bola, lalu jadilah buku.
Sejak kecil aku gemar membaca, dan buku tentangmu—dari tiga penulis berbeda—sudah kukhatamkan semuanya. Di sana tertulis banyak hal mengejutkan, dan nanti, saat bukumu meledak di pasaran, datanglah sekelompok orang berbadan tegap, mengetuk rumahmu, membawa surat penangkapan, lalu menyeretmu ke jeruji besi.
Di dalam buku itu diceritakan bagaimana masa kecilmu. Kala itu usiamu belum genap dua puluh. Ayahmu menginginkan kau menjadi tentara, dan itu tak sejalan denganmu yang kadung gandrung bermain sepak bola. Berulang kali ayahmu katakan, bahwa menjadi atlet di negeri ini bukanlah pilihan yang baik. Tidak ada jaminan masa depan. Muda dielukan, tua dilupakan. Namun akhirnya kau tetap menjadi atlet sepak bola, setelah ayahmu sadar tak punya cukup modal untuk memasukkanmu ke jajaran akademi.
Sementara di pertengahan buku, kau bahas lika-liku menjadi pemain sepak bola di Indonesia. “Kontrak itu hanya musiman,” katamu, “dan jika satu musim tak mendapat kontrak maka kami harus makan dari uang tabungan.” Lalu kau menambahkan, “Jangan bayangkan gaji pemain di sini sama seperti di luar negeri. Itu pemikiran konyol. Di sini tugas kami tak hanya berjuang mencetak gol, namun juga berjuang mencari sebutir nasi untuk menyuapi anak istri.”
Di dalam buku bicaramu sangat lantang. Tanpa ragu kau membongkar kebobrokan yang terjadi di dunia sepak bola dalam negeri—sampai-sampai aku pikir, apa kau tidak takut akan mati? Pengaturan skor. Skandal korupsi. Nama-nama mafia sepak bola kau sebut semuanya dan tanpa inisial. Suaramu vokal. Serupa radikal. Seolah kau yakin bahwa Tuhan tidak pernah menuliskan tanggal kematianmu.
“Saya tahu risikonya. Ancaman mati sudah berulang kami terima. Terhadap saya, istri, bahkan kedua anak kami. Dan nanti, jika benar kami mati karena ini, menukar empat nyawa demi kemajuan sepak bola dalam negeri tidaklah mengapa, bukan?” Mengutip ucapanmu, pada buku Jejak Edi Supono di Lapangan Hijau, halaman seratus dua belas.
Namun ada satu hal yang menjadi inspirasi semua orang. Yaitu pada lembar akhir semua buku akan ditulis tebal ucapanmu. “Aku hanya punya keahlian bermain sepak bola. Maka dengan cara itu aku mengabdi untuk negara.”
Darimu aku tahu, rupanya bermain sepak bola tak sekadar menggiring si kulit bundar lalu mencetak gol ke gawang lawan. Namun serupa kehidupan, sepak bola juga memerlukan sandiwara (diving), adu kepala (heading), dan teknik menjegal lawan (tackling)—itulah yang membuatmu cedera dan masuk penjara. Maka, malam ini rasanya inginku bertanya, setelah sepak bola dan seluruh jajarannya ‘mengkhianatimu’, masihkah ada garuda di dadamu?
“Dekat sini saja, Pak,” jawabku.
“O, kalau saya malah baru dua hari tinggal di sini. Pindahan dari Jakarta. Maklumlah, di sana lagi ada korona. Kalau di sini, kan, katanya nggak ada korona, ya?”
Lepas senyumku mendengarnya—ah, ada-ada saja. Memang benar yang kubaca dari buku-bukumu, kau punya pribadi ramah nan lucu.
“Kalau boleh tahu, dulu bapak kerja apa di Jakarta?” tanyaku pura-pura.
“O, macam-macam, Dik. Pernah jadi kuli. Supir angkot. Hm, jualan sepatu. Ya, pokoknya serabutan gitu.” Ringan saja jawabmu, tanpa sedikit pun menyinggung sepak bola.
“Ada lagi, Pak?”
“Hm, driver ojol juga pernah,” katamu, kemudian menambahkan prinsip, “ya pokoknya kerja apa saja buat saya nggak masalah. Asalkan itu halal.”
Huh! Gemas rasanya saat kau tak juga menyebut sepak bola. Apa sekarang kau sudah melupakannya?
“Maaf, Pak, selain itu apa masih ada lagi?” Terpaksa kudesak. Ingin rasanya kudengar kata sepak bola dari mulutmu.
“Tidak ada, Dik.”
“Benarkah begitu?”
“Ya.”
“Kalau sepak bola?”
Matamu segera menatapku setajam burung hantu. Namun, dua detik berikutnya rekah lagi senyummu. “O, kalau itu bukan pekerjaan, Dik,” ujarmu ringan saja, sembari menyodorkan sebungkus nasi goreng kepadaku. “Tapi itu pengabdian.” Dari suaramu dapat kupetik, ada buah-buah keikhlasan nan berkesan.
Malam hampir larut, sementara daganganmu masih banyak. Kurogoh saku celana, kuambil dua tokoh proklamator Indonesia. Ini adalah lembar terakhirku. Dan apakah jika aku tukar uang ini dengan nasi goreng buatanmu yang halal itu nilainya masih sepadan?
“Lho, ini kembaliannya, Dik?”
Kudorong kembali tanganmu yang telah bergaris keriput itu. “Untuk bapak saja.”
“Wah, terima kasih banyak, Dik. Semoga lancar kuliahnya.” Berkali-kali kau tundukkan kepalamu, pun berkali kau ucapkan terima kasih padaku. Aduhai, Pak, janganlah begitu. Seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu. Sebab dahulu aku, ayahku, para suporter, dan seluruh masyarakat negeri ini pernah berkata, “Kutitipkan garuda di dadamu.”
Yogyakarta, 2021.
0 Comments