"Bahkan Tuhan Pun tidak Selamat dari Prasangka"

"Once upon a time, a chick was born. It happened in the duck coop." Bola kuning itu - anak ayam - diprasangkai sebagai 'a baby duck' oleh induknya sendiri karena dia lahir di dalam kandang bebek. Sepanjang hidupnya dia bukan seekor ayam, melainkan seekor bebek! Dengan cara apapun anak ayam menyangkalnya, percuma, dia tidak akan berhasil. 


ilustrasi via pixabay: lolame

"Anda adalah apa yang orang lain persepsikan tentang anda."

Ya, sebagian dari kita sepakat; itu adalah hal yang patut disayangkan. Apabila orang-orang disekitar memiliki persepsi yang keliru tentang anda, misalnya. Konsekuensinya; tentu, anda akan tersiksa; karena diliputi perasaan bersalah atas hal-hal yang tidak anda lakukan, itu. It's okay, mungkin masih bisa diatasi. Anda bisa menggunakan 'antipati' sebagai obatnya, mungkin. Ya sudah, kalau begitu cuekin saja, mudah bukan?

Tapi masalahnya, "rasa tersiksa" tidak seketika terhenti setelah kedatangannya, umumnya begitu. Anak ayam tadi misalnya; selama bertahun-tahun dia tidak bisa hanya mengandalkan 'antipati dosis tunggal' dengan bersikap cuek bebek terhadap kelompoknya sendiri, karena hal itu - sikap abai - sama sekali tidak efektif.

Kesulitan-kesulitan yang muncul saat "diprasangkai" tidak lantas berhenti dengan satu kali dosis antipati saja. Kesulitannya bisa muncul berkali-kali, itu faktanya. Masalah yang dialami oleh anak ayam - seperti berpura-pura jadi anak bebek, dst - tidak akan benar-benar berhenti hingga sang induk ayam mau memakai "otaknya" untuk keluar dari prasangkaannya - melihat anak ayam dengan mata telanjang bahwa dia memang anak ayam bukan anak bebek.

Lalu, kenapa disebut tadi; kesulitannya muncul berkali-kali? Begini, anak ayam itu tidak hidup sebagai dirinya. Malangnya, ia hidup di dalam persepsi orang lain sebagai anak bebek, bukan sebagai anak ayam, jati dirinya yang asli.

Benarkah Tuhan sesuai Persangkaan Hambanya?

Tidak, itu tidak benar! "Jangan percaya dengan saya, karena saya sedang berprasangka terhadap Tuhan.

Suatu waktu, saya menghadiri sebuah kotbah. Dalam kotbah tersebut, sang pemuka agama mengatakan bahwa "Tuhan sesuai dengan persangkaan hambanya." Maka dengan bersemangat, pagi itu, saat kotbah telah selesai, saya mulai beraktivitas dengan energi dua kali lebih prima dari hari-hari sebelumnya.

Saya pun mulai mengatur ulang pola pikir saya; "hari ini pasti Tuhan akan memberi saya uang yang lebih banyak, keuntungan yang lebih banyak! Hehe, ini pasti akan berhasil", gumam saya dalam hati. 

Kembali kepada "persangkaan baik saya" terhadap Tuhan. Sebagai pedagang 'buah potong,' tentulah penghasilan saya tidak sama seperti penghasilan mereka-mereka yang senantiasa memiliki cadangan uang untuk menafkahi keluarganya. Saya berbeda. Keuntungan harian dari berdagang menjadi ujung tombak saya dan keluarga untuk menyambung tali kehidupan hari demi hari. 

Bermodalkan prasangkaan yang baik terhadap Tuhan, pagi itu saya yakin seyakin-yakinnya, pasti akan ada banyak pembeli yang berdatangan! 

* * *

Tiga jam sudah saya menunggu, tidak satupun pembeli yang datang. Hati ini mulai cemas dan khawatir. Pikiran pun turut memunculkan persangkaan yang tidak baik; jangan-jangan tokoh agama itu, yang menyampaikan kotbah, dia telah berbohong?!

Ah, tidak mungkin, dia kan pelayan tuhan, mana mungkin dia berani berbohong!? Hmm, saya tunggu sebentar lagi saja! "Persangkaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik," hehe - bangga, hebat juga saya ini, bisa mempositifkan diri meski sekarang keadaannya sedang rumit.

Waktu pun berlalu; detik demi detik, menit demi menit silih berganti, dan akhirnya sampailah saya pada puncak kesabaran. Keadaan saya semakin memprihatinkan; hujan turun dengan deras, karena tidak memiliki jas hujan, sudah bisa ditebak bukan, apa yang terjadi dengan pakaian dan sebagian barang dagangan saya? 

Cukup, saya menyerah! "Pemuka agama itu sama sekali tidak berbohong, dia tidak berbohong, tapi Tuhan lah yang telah membohonginya!" - Prasangkaan saya terhadap Tuhan, ket.

sekian

Post a Comment

0 Comments