Saya baru aja menyelesaikan sebuah novel yang saya pinjam dari teman saya, Frino. judulnya Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Kesan saya, novelnya parah sih, terlebih karena ceritanya diangkat dari kisah nyata. Pantas banyak yang suka. Dengan gamblang ditunjukkan kondisi sosial masyarakat Mesir pada saat itu.
Kelemahan saya sendiri adalah malas membaca. Novel yang saya baca pun bisa dihitung jari, sekitar 5-7 buku. Itu pun 3 diantaranya karena tuntutan tugas kuliah.
Novel Perempuan di Titik Nol ini tuh novel lama dan sudah sangat populer, hanya saja saya baru baca. Secara umum novel ini mengangkat isu tentang kedudukan dan hak hak perempuan, khususnya perempuan Mesir di masa itu. Terbit pertama kali tahun 1975 dan masuk Indonesia tahun 80an.
Bercerita tentang seorang wanita bernama Firdaus yang dipenjara karena kasus pembunuhan. Firdaus adalah seorang perempuan yang sejak kecil mendapat banyak diskriminasi dan pelecehan. Ia kemudian menjadi pelacur sukses yang berakhir putus asa. Firdaus udah ngerasa putus asa yang paaaling putus asa. Tetapi dari keputusasaan itu, ia bisa memberikan semangat menantang dan melawan kekuatan yang merampas hak manusia untuk hidup. Dan pada akhirnya dia bisa berkuasa atas dirinya sendiri.
Harus baca sendiri, jelasinnya susah.
Latarnya yaitu kondisi sosial di Mesir tahun 70an. Khususnya mengenai praktek diskriminasi terhadap perempuan, laki-laki masih memandang dan memberi penilaian rendah kepada perempuan.
Dan meskipun sudah berpuluh puluh tahun, sebagian besar masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Kenapa Indonesia? Ya karena saya tidak tau bagaimana kondisi di Mesir sekarang, jadi yang bisa saya bayangkan adalah kondisi di Indonesia pas baca novelnya. Heuheu
Banyak permasalahan besar (mungkin) tentang isu isu feminisme yang bisa digali dari novel ini. Untuk bisa tau, mau ga mau harus meneliti terlebih dahulu menggunakan teori dan banyak literatur. Tapi karena saya bukan pakar, dan juga sedang tidak membuat skripsi. Jadi saya hanya singgung apa yang saya tangkap, dan sekiranya relate dengan yang terjadi di sekitar saya.
Pertama adalah diskriminasi pendidikan bagi perempuan. Dalam novel ada situasi dimana hanya laki-laki yang pantas untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Tapi memang sekarang pun masih kental terdengar omongan-omongan "perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi", "udah, perempuan ga perlu bingung soal kerja, tinggal nikah aja, biar suami yang kerja", “perempuan mah di dapur aja” dan sebagainya yang serupa. Padahal sudah banyak sekarang perempuan yang berpendidikan tinggi dan sukses bahkan melebihi laki-laki.
Selanjutnya adalah perlakuan suami terhadap istri. Dalam novel ini beberapa kali digambarkan bagaimana kekerasan yang dilakukan seorang suami pada istrinya. Semena-mena memperlakukan istrinya, terlebih ketika istrinya melakukan kesalahan (meski kesalahan sepele). Istri benar-benar tunduk, yang saya rasa bukan sekedar berbakti, tetapi lebih kepada relasi kuasa laki-laki atas perempuan.
Ini persisi seperti satu dua kasus yang terjadi di sekitar saya. Para suami cuma ngoceh soal dalil-dalil yang mengharuskan istri menghormati dan patuh pada suami. Tapi abai dengan dalil-dalil tentang menghormati istri atau wanita, dalil-dalil tentang etika, atau mungkin dalil-dalil tentang bagaimana menjadi manusia yang benar.
Selain itu, pandangan laki-laki terhadap perempuan bisa juga kita lihat dari kenyataan yang terjadi di sekitar kita mengenai poligami.
Kita bisa lihat, berapa banyak laki-laki membicarakan poligami dengan aura muka yang sumringah. Pernah mereka bayangkan seorang janda yang miskin atau wanita tua yang hidup sendirian ketika bahas poligami? ya gatau sih, saya juga sok tau, nebak-nebak aja ini.
Laki laki tidak sempat berpikir bahwa, istri juga bisa merasakan sakit yang sama dengan suami ketika melihat istrinya punya suami lagi. Persoalan wanita tidak baik secara agama dan kesehatan untuk bersuami lebih, lepas dulu. Kita pakai kacamata etika dan perasaan. Lalu pertanyaannya kenapa ada istri yang mau? Itulah bagaimana agama bekerja.
Ya ya ya, tentu saja ini subjektif, berdasarkan apa yang saya amati di sekitar. Misalnya ada istri kedua yang sebenarnya mapan dan bisa punya suami sendiri. Tapi cinta ya cinta. Meski begitu, di luar sana tentu ada juga yang poligami sesuai kaidah dan aturan. Kembali lagi, para suami harus bisa merenungi sebenarnya apa makna seorang istri bagi mereka. Dan lebih jauh, bagaimana sebagai laki-laki memaknai seorang wanita.
Banyak sebenarnya yang bisa dibahas mengenai relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan, yang ada dalam novel tersebut tentunya. Masalah yang diangkat pun tentu lebih besar dari sekedar yang saya bahas. Mending baca sendiri biar langsung merasakan.
Terakhir, yang menarik dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi ini bagi saya adalah, begitu kuatnya posisi uang dalam kehidupan kita. Digambarkan dalam novel, dengan uang bisa membuat jalan selalu mulus. Bagaimana orang-orang bisa membayar untuk sesuatu yang mereka inginkan, jasa, nafsu, bahkan hukum sekalipun. Meski pada suatu waktu, masih ada harga diri dan kehormatan yang bisa lebih kuat. Tapi ya cuma secuil. Tanpa dijelasin, sudah sangat relate dengan apa yang terjadi di sekitar kita.
Hoke, sepertinya udah terlalu banyak ngoceh. Sekian review saya tentang novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Kesimpulan, novel ini sangat direkomendasikan!
eh tapi selera deng wkwk
0 Comments