Kalo bahas angkringan, salah satu yang terlintas di pikiran kita adalah Jogja. Setidaknya itu yang terjadi ketika saya mendengar kata angkringan. Mau di Jogja atau di kota lain, Jogja langsung kebayang ketika mendengar kata itu. Ya Jogja dan angkringan sudah menjadi dua hal yang sangat melekat. Meskipun di beberapa kota lain juga ada. Bahkan sampai ada kalimat yang cukup populer yaitu "Jogja itu terbuat dari rindu, pulang dan angkringan".
Ditengah maraknya cafe-cafe dan resto hits yang muncul, angkringan masih tetap menjadi tempat nongkrong favorit saya bersama teman-teman. Memilih angkringan sebagai tempat tongkrongan, tidak lain karena jam bukanya yang lama dan juga menunya yang sederhana dan terjangkau. Walaupun ujung-ujung duitnya abis banyak. Dulu selain angkringan, kami juga sering kumpul di Burjo, tapi burjo favorit kami belum beroperasi lagi semenjak pandemi. Mengapa tidak memilih cafe? Sudah jelas karena kami terlalu kere untuk nongkrong di 'cafe'.
Selama di angkringan, banyak hal yang bisa saya amati dan kadang jadi pelajaran yang bisa dipetik. Apalagi saya berasal dari luar Jawa, sehingga menarik bagi saya melihat fenomena tempat makan berupa angkringan dengan segala aktivitasnya.
Saya merasakan di beberapa kesempatan bahwa angkringan adalah representasi dari kesederhanaan dan tradisionalitas masyarakat Yogyakarta. Angkringan menjadi bagian kecil yang membentuk keistimewaan Jogja. Bisa dibilang angkringan ini salah satu budaya Jogja. Dalam hal ini, budaya tidak selalu hal-hal besar. Menurut saya, sesuatu yang khas dan otentik juga merupakan bagian dari yang membentuk budaya itu sendiri. Di sini lah angkringan hadir, sebagai suatu kesederhanaan yang khas dan menjadi bagian kecil dari kebudayaan Jogja. Tidak heran jika ia menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Jogja.
Angkringan tetap bertahan meski banyak tempat makan modern, kekinian dan instragamable yang kian menjamur. Pengunjung angkringan juga tidak kalah rame dan berasal dari berbagai kalangan. Bukan hal aneh terkadang di beberapa angkringan dihampiri pengunjung yang ‘beduit’ dan datang menggunakan mobil. Tidak lain karena ingin nyantai dan menikmati kesederhanaan. Saking melekatnya citra 'sederhana' dengan angkringan, ada nih tempat makan yang mengusung nama angkringan agar terlihat sederhana, padahal harganya mahal.
Semakin ke sini zaman terus berubah, begitu pula dengan industri kuliner yang semakin modern dan kekinian. Tapi angkringan tetap mempertahankan bentuknya yang sederhana. Yaitu dengan gerobak dan bangkunya yang khas, plus tikar lesehan. Yang berubah harganya hehe.
Loh gapapa dong, kalo terus terusan pake harga nasi kucing yang seribu, ga survive lah. Tetap realistis dan mengikuti perkembangan ekonomi zamannya. Tapi tetap low profile.
"Itu kan cuma beberapa angkringan aja, cuma yang populer, yang viral, banyak kok angkringan yang sepi di pinggir jalan." Mungkin ada yang berpikir demikian. Namun bagi saya angkringan-angkringan kecil tersebut justru menarik dan istimewa. Dari angkringan yang sederhana pinggir jalan (dalam hal ini bukan yang populer) kita justru bisa melihat sisi lain tentang pelajaran hidup.
Yang mampir umumnya adalah wong cilik, tukang becak, pekerja serabutan, kuli, atau warga kampung sekitar. Kalo kita perhatikan, disana orang-orang ini sering sekali membicarakan banyak hal. Mulai dari curhat masalah utang, ngomongin judi, bahas bola, politik, dan berbagai masalah hidup lainnya. Angkringan menjadi salah satu tempat bagi wong cilik untuk membicarakan keresahannya. Kadang ada yang tidak saling kenal, tapi karena punya keresahan yang sama, obrolannya jadi nyambung. Abis capek seharian kerja, mampir angkringan, sambat, pulang tidur, besok kerja lagi.
Sedang di angkring populer mana ada atau jarang sekali, dalam hal ini, wong cilik yang mampir. Selain karena harganya sedikit lebih tinggi, di sana juga kurang nyaman untuk membicarakan hal-hal tadi. Sebagian besar yang datang adalah wisatawan dan orang orang yang pengen nongkrong.
Nah kalo mau tau apa saja masalah dan keresahan wong cilik ya salah satunya di angkringan-angkringan kecil. Sama halnya dulu waktu sering ke burjo, hanya saja burjo segmentasinya sebagian besar mahasiswa. Jadi yang terdengar ya keresahan dan masalah mahasiswa.
Yap, setidaknya itu sedikit dari banyak hal yang saya pelajari di angkringan. Disclaimer, ini semua subjektif berdasarkan yang saya amati di beberapa angkringan pas nongkrong. Karena ga mungkin saya jajakin semua angkringan yang ada di Jogja :D
Coba deh sesekali perhatiin pas kalian lagi ngangkring.
Ditengah maraknya cafe-cafe dan resto hits yang muncul, angkringan masih tetap menjadi tempat nongkrong favorit saya bersama teman-teman. Memilih angkringan sebagai tempat tongkrongan, tidak lain karena jam bukanya yang lama dan juga menunya yang sederhana dan terjangkau. Walaupun ujung-ujung duitnya abis banyak. Dulu selain angkringan, kami juga sering kumpul di Burjo, tapi burjo favorit kami belum beroperasi lagi semenjak pandemi. Mengapa tidak memilih cafe? Sudah jelas karena kami terlalu kere untuk nongkrong di 'cafe'.
Selama di angkringan, banyak hal yang bisa saya amati dan kadang jadi pelajaran yang bisa dipetik. Apalagi saya berasal dari luar Jawa, sehingga menarik bagi saya melihat fenomena tempat makan berupa angkringan dengan segala aktivitasnya.
Saya merasakan di beberapa kesempatan bahwa angkringan adalah representasi dari kesederhanaan dan tradisionalitas masyarakat Yogyakarta. Angkringan menjadi bagian kecil yang membentuk keistimewaan Jogja. Bisa dibilang angkringan ini salah satu budaya Jogja. Dalam hal ini, budaya tidak selalu hal-hal besar. Menurut saya, sesuatu yang khas dan otentik juga merupakan bagian dari yang membentuk budaya itu sendiri. Di sini lah angkringan hadir, sebagai suatu kesederhanaan yang khas dan menjadi bagian kecil dari kebudayaan Jogja. Tidak heran jika ia menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Jogja.
Angkringan tetap bertahan meski banyak tempat makan modern, kekinian dan instragamable yang kian menjamur. Pengunjung angkringan juga tidak kalah rame dan berasal dari berbagai kalangan. Bukan hal aneh terkadang di beberapa angkringan dihampiri pengunjung yang ‘beduit’ dan datang menggunakan mobil. Tidak lain karena ingin nyantai dan menikmati kesederhanaan. Saking melekatnya citra 'sederhana' dengan angkringan, ada nih tempat makan yang mengusung nama angkringan agar terlihat sederhana, padahal harganya mahal.
Semakin ke sini zaman terus berubah, begitu pula dengan industri kuliner yang semakin modern dan kekinian. Tapi angkringan tetap mempertahankan bentuknya yang sederhana. Yaitu dengan gerobak dan bangkunya yang khas, plus tikar lesehan. Yang berubah harganya hehe.
Loh gapapa dong, kalo terus terusan pake harga nasi kucing yang seribu, ga survive lah. Tetap realistis dan mengikuti perkembangan ekonomi zamannya. Tapi tetap low profile.
"Itu kan cuma beberapa angkringan aja, cuma yang populer, yang viral, banyak kok angkringan yang sepi di pinggir jalan." Mungkin ada yang berpikir demikian. Namun bagi saya angkringan-angkringan kecil tersebut justru menarik dan istimewa. Dari angkringan yang sederhana pinggir jalan (dalam hal ini bukan yang populer) kita justru bisa melihat sisi lain tentang pelajaran hidup.
Yang mampir umumnya adalah wong cilik, tukang becak, pekerja serabutan, kuli, atau warga kampung sekitar. Kalo kita perhatikan, disana orang-orang ini sering sekali membicarakan banyak hal. Mulai dari curhat masalah utang, ngomongin judi, bahas bola, politik, dan berbagai masalah hidup lainnya. Angkringan menjadi salah satu tempat bagi wong cilik untuk membicarakan keresahannya. Kadang ada yang tidak saling kenal, tapi karena punya keresahan yang sama, obrolannya jadi nyambung. Abis capek seharian kerja, mampir angkringan, sambat, pulang tidur, besok kerja lagi.
Sedang di angkring populer mana ada atau jarang sekali, dalam hal ini, wong cilik yang mampir. Selain karena harganya sedikit lebih tinggi, di sana juga kurang nyaman untuk membicarakan hal-hal tadi. Sebagian besar yang datang adalah wisatawan dan orang orang yang pengen nongkrong.
Nah kalo mau tau apa saja masalah dan keresahan wong cilik ya salah satunya di angkringan-angkringan kecil. Sama halnya dulu waktu sering ke burjo, hanya saja burjo segmentasinya sebagian besar mahasiswa. Jadi yang terdengar ya keresahan dan masalah mahasiswa.
Yap, setidaknya itu sedikit dari banyak hal yang saya pelajari di angkringan. Disclaimer, ini semua subjektif berdasarkan yang saya amati di beberapa angkringan pas nongkrong. Karena ga mungkin saya jajakin semua angkringan yang ada di Jogja :D
Coba deh sesekali perhatiin pas kalian lagi ngangkring.
0 Comments