cerpen karya: HARAS
ilustrasi via pixabay: shambuimaji |
Semenjak kau tinggalkan kota ini, dua puluh tahun lalu, bukankah kau selalu dihantui bayangan wajahku? Saat itu aku tengah hamil tua, mengandung anak pertama kita. Aku acap rewel memintakan banyak hal padamu. Seperti minta dibelikan Asinan, Kerak Telor, Soto Betawi, atau Bakso yang dijual di dekat Stasiun Pasar Senen, atau Sate Ayam dan itu pun penjualnya harus orang asli Madura. Dan tak cukup sampai di situ saja. Menjelang tidur aku ingin dipijit dahulu, diurut di pergelangan tangan, kaki, seputar tengkuk leher, dan terutama di bagian payudara, menggunakan minyak bulus yang kau beli dari Kalimantan. Dan terakhir, akan kupaksa dirimu membuka baju demi menuruti permintaanku: memberikan nafkah batin untukku. Demi Tuhan, kau adalah suami paling baik sedunia. Kau selalu turuti apa pun yang kumau, meski untuk beberapa permintaan yang tidak masuk akal.
“Pokoknya Mas, aku mau anak kita seorang laki-laki dan setampan artis Korea!” ancamku tak main-main, seolah dirimu harus bisa mengabulkan segala hal. “Tapi Mas, matanya harus persis seperti matamu. Meski matamu tampak keji, tapi biarlah. Toh, aku kadung menyukainya.” Kau kembali mengiyakan.
Malam di luar terang. Cahaya purnama bercokol gagah di antara langit legam, seolah sedang ingin menunjukkan siapa sejatinya pengusa sang malam. Sementara di kejauhan tidak ada apa-apa, kecuali hanya ada kesunyian yang tenang. Selepas menyelimutiku, kau membuat segelas kopi panas lalu duduk di teras rumah. Tidak ada suasana yang lebih kau sukai ketimbang kesunyian yang seperti ini, terutama guna merampungkan naskahmu yang mangkrak tiga bulan. Maka segera kau membuka laptopmu yang telah usang itu, dan deru mesinnya terdengar hingga sampai telingaku, seperti suara mesin pabrik yang hampir jebol. Kau pernah bilang, meski telah usang, namun laptopmu penuh kenangan, sebab itu kau bertahan menggunakannya. Namun aku tahu itu hanya bualan belaka. Sebenarnya kau sedang memikirkan biaya persalinan.
Jemarimu mulai menari menghasilkan bunyi “tik” yang berulang-ulang, dan aku menyukai bunyi itu sampai-sampai kumerasa sedang di-nina-bobokan menuju alam mimpi oleh suaranya. Malam tampak tenang. Hanya ada bunyian “tik” yang berulang. Tapi itu tidak lama. Sebelum sempat kuterlelap, entah bagaimana cerita, puluhan aparat menggeruduk rumah kita.
Dari balik kegelapan, mereka datang secepat menodongkan senjata laras panjang kepadamu. Kau tak berkutik. Wajahmu pucat-membiru. Beberapa orang segera menerobos masuk rumah, menuju kamarku, lalu memberondong tubuhku secara brutal. Butir peluru berdenting jatuh. Aku terkapar, dan mati di dalam keheningan. Aku tak sempat berteriak, ataupun memberi pembelaan. Setelah membunuhku, mereka menyeretmu seperti anjing gila, memasukkanmu ke dalam truk dan mengikatmu di sana. Pada akhirnya, entah bagaimana (lagi) cerita—kupikir memang tidak semua hal bisa diceritakan— kau harus dihukum 20 tahun penjara, atas tuduhan kejahatan yang tak pernah kau perbuat, yaitu membunuh istrimu sendiri.
Kau tak dapat mengelak di meja persidangan, juga tak punya kesempatan membela diri di depan para hakim yang mulia, atau sekadar mendatangkan pengacara guna memberi bantuan hukum. Sebab kasus ini memang kasus pesanan, dari seorang pejabat di „ring satu‟ yang kala itu sudah menandai pergerakanmu. Sehingga dengan segala kuasanya, kau serta-merta difitnah, ditangkap, dijebloskan ke penjara kelas kakap, Nusa Kambangan.
Tak ada malam yang lebih mengerikan daripada menjalani malam-malam di dalam penjara, lebih-lebih untuk napi yang tak pernah berdosa, seperti dirmu. Aku tahu, kau bukan orang jahat. Selalu membayar pajak tepat waktu dan tak pernah tercatat melakukan kejahatan apapun. Kau hanya seorang penulis novel-novel cengeng, tapi belakangan tulisanmu—entah dipengaruhi siapa—santer mengkritik pemerintah, bahkan kau terlibat dalam sebuah tim investigasi yang mencoba mengendus korupsi di lingkup pejabat ring satu.
Hari demi hari kau jalani. Makanan bekas anjing, bau sel yang pesing, serta ruang lembap minim cahaya, menjadi sahabat terdekatmu. Tapi itu belum seberapa. Puncaknya ketika rekan satu selmu kemudian menyapamu, Bung, sepertinya kau bukan orang jahat, lalu menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri bernama Agus. Kau menolak bersalaman. Lalu Agus—yang barangkali tersinggung atas sikapmu—segera memprovokasi dengan perkataan yang bagimu menyakitkan.
“Sebejad-bejadnya anjing,” katanya, tepat di depan matamu, “tidak akan membunuh betinanya, apalagi betinanya sedang hamil tua.”
Kau mengamuk saat itu! Kau hantam Agus dengan kalap dan dengan sangat keras sampai-sampai tulang tengkoraknya berbunyi “krak” dan hampir kau tikam dirinya menggunakan garpu yang ada di sana. Beruntung rekanrekan satu selmu segera melerainya, dan saat itu juga sipir datang, ramai-ramai menggebukimu, kemudian mengikatmu dan langsung memasukkan dirimu ke dalam sel isolasi yang gulita selama dua puluh tahun lamanya, sendirian saja.
Demi Tuhan, tangismu tersedu-sedan, “Aku tak pernah membunuhnya.”
Ya, Mas, aku tahu semua itu. Aku tahu kau tak pernah membunuhku, sebagaimana aku juga tahu jika kau, sungguh mencintaiku. Dengan cinta yang sedalam-dalamnya. Dengan cinta yang tak pernah kau berikan kepada siapa pun juga. Dari matamu, aku mengetahuinya.
Di dalam sel isolasi keadaan gelap gulita. Nyaris tanpa suara. Dan juga tanpa cahaya. Tetapi apa kau sudah lupa? Seperti yang pernah kubaca dari kutipan di salah-satu novelmu, bahwa di dalam kegelapan seseorang malah akan melihat segala hal, bahkan untuk beberapa hal yang tak dapat terlihat saat ada terang cahaya. Dan itulah yang terjadi selanjutnya. Kau melihat segalanya, terutama bagaimana saat kita untuk yang pertama kali berjumpa.
Sore itu di Stasiun Pasar Senen aku duduk di salah satu bangku tunggu, memandangi gerbong-gerbong kereta yang sedang menaikkan penumpangnya. Kupikir, apakah dengan menabrakkan diri pada salah satu kereta yang sedang melaju itu bisa langsung menghapuskan rasa sakit di hatiku?
Kau, yang saat itu sedang memotret apa saja di sekitar sana segera mengarahkan kamera kepadaku. Secara diam-diam kau mengambil gambarku. Entah untuk apa. Tapi saat itu kau merasa senang melakukannya.
Sampai tiba-tiba langit pun bersendawa, dan hujan pun mulai turun. Orang-orang berhamburran dan segera mencari tempat teduh, begitupun denganmu, tapi tidak denganku. Aku tetap duduk di bangkuku, seolah-olah tidak ada hujan, dan seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kau yang berteduh di samping loket merasa terheran memandangku, dan tak habis pikir, apa yang sedang dilakukan gadis itu di sana?
Maka demi menuntaskan rasa penasaran kau segera mendekatiku dan bermaksud memberiku payung. Tapi saat tepat berada di depanku dan melihat bagaimana mataku, kau pun jadi tahu, rupanya ada hujan yang lebih lebat lagi di sana—di kedua mataku, tepatnya. Sehingga saat itu kau urungkan niatmu untuk memberiku payung, dan malah kau katupkan payungmu serta, lalu ikut duduk di sebelahku.
“Hujan makin lebat,” katamu datar saja, tanpa menunjukkan ekspresi apaapa. Dahiku mengerut demi menatapmu penuh tanya, tapi hanya sebentar, lalu kulihat kembali ke arah gerbong-gerbong yang sudah hampir penuh dan segera mangkat. Kau kembali mengatakan jika hujan makin lebat, jika hujan makin lebat, sebanyak empat kali, kemudian sedikit memberikan nada ancaman. “Jika kau tetap bersikeras duduk di sini, kau akan sakit, dan sakit adalah hal yang tidak menyenangkan.”
Aku tetap diam bagaimanapun. Tak perlu kuiraukan apa pun ucapanmu, bahkan kuperlihatkan wajah tak sukaku kepadamu—tentu, kupikir orang asing sepertimu enyahlah ke neraka. Berkali-kali aku mengusirmu tapi kau berkepala batu. Dan akhirnya aku pun menamparmu tapi kau masih nekat dan menarik tanganku.
“Pergi! Siapa kau?”
“Hujan makin lebat.”
“Apa urusanmu?”
Aku mengancam akan meneriakimu sebagai pemerkosa, atau perampok, atau semacamnya, tapi itu tak buatmu menyerah, bahkan terus menarikku dan mencoba membawaku ke tempat yang teduh.
Aku melawan sekuat tenaga, tapi dengan cepat kau malah memelukku, mendekapku sangat erat hingga entah ..., saat itu aku tak ingin melawanmu— barangkali, telah kutemukan tempat yang nyaman kala itu.
Segera kutumpahkan semua tangisanku di sana, tepat di dadamu, sembari kuhantami bahumu, serta aku berteriak sangat lantang tapi sayang, saat itu kereta pun berangkat, memekik panjang, membungkam suara tangisanku, dan membungkam rasa patah hatiku.
Sehingga sejak hari itu aku mulai mengenalmu, dan di hari berikutnya; dan di hari setelahnya; dan di hari yang banyak tak terhitung berapa jumlahnya kau bertamu ke rumahku.
Perangaimu sangat sopan, dan aku menyukai perangaimu yang sangat sopan itu—sejujurnya, aku menyukai segala hal tentangmu, tanpa terkecuali. Tiap kali bertamu ke rumahku kau gulung rambut panjang ikalmu, memakai minyak wangi, setelan kemeja rapi, dan sepatu pantofel yang sengaja kau semir (atau kau ludahi?) terlebih dahulu. Sehingga saat itu aku pikir kau lebih mirip sales ketimbang hendak mengajakku berkencan. Aku tahu, itu bukanlah gayamu, tapi demi bertemu ayahku yang galaknya bukan main kau rela melakukannya. Setelah menyogok ayahku menggunakan martabak isi telor spesial dengan cincangan daging sapi kesukaannya, kau pun diizinkan membawaku jalan-jalan, dengan sebuah pesan standar dari orang tua. “Jangan pulang larut malam, Jakarta banyak orang jahat dan itu mengerikan.”
Dan kita berkencan di malam itu; dan di malam berikutnya; dan di malam setelahnya sampai-sampai kita lupa menghitung seberapa banyak kencan kita? Tetapi jumlah kencan kita pastilah lebih banyak daripada jumlah kelopak bunga di mahkota bunga mawar yang sengaja kau petik dan berikan padaku.
“Jakarta tak semengerikan yang ayahmu kira,” katamu, selagi menyelipkan bunga mawar ke sela telingaku. “Jakarta itu indah, terlebih saat tahu jika di antara sepuluh juta penduduknya, kudapati kamu salah-satunya.”
Kau memang pandai membual, dan aku menyukai caramu yang pandai membual itu—ah, bukankah sudah kubilang jika aku menyukai segala hal tentangmu? Terutama tatapan matamu itu. Begitu keji, seperti burung elang kelaparan tapi itu tidak membuatku merasa ngeri atau sedang terintimidasi— bahkan sebaliknya, aku malah merasa nyaman ketika ditatapnya. Pernah suatu hari kutanyakan, terbuat dari apa matamu yang keji itu? Kau tertawa sebentar, kemudian mengaku jika matamu terbuat dari perjuangan sosok ibu yang mencoba menghidupi anak semata wayangnya di tengah kerasnya ibu kota, seorang diri saja.
Aku terkagum saat mendengar perjuangan ibumu, dan mulai berpikir ingin menjadi sosok yang setangguh dirinya. Tapi kau menolaknya. “Itu tidak perlu,” katamu, dengan perkataan yang sungguh-sungguh. “Aku berjanji jika kau tak perlu menanggung beban seberat ibuku. Aku tidak meninggalkanmu, seperti yang telah ayahku lakukan terhadap ibu.”
Aku mengamini. Kau menciumku lalu mengatakan sesuatu yang akan mengubah segala hal di dalam hidup kita. “Menikahlah denganku,” pintamu.
Sehingga selanjutnya kau selalu mengingatnya: pada pagi yang cerah di penghujung bulan Januari kita pun menikah. Resepsi digelar sederhana, hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja. Setelah mengucapkan janji untuk menjagaku sehidup-mati, ibumu menghampiriku dan berkata, “Dia memang keras kepala. Tapi bernjajilah untuk berbahagia setelah hidup bersamanya.”
Tentu saja aku ingin bahagia, lebih-lebih saat bidan kemudian memberi kabar kehamilanku, kita melonjak bahagia, lalu mulai menerka-nerka, apakah laki-laki ataukah perempuan anak kita? Sebenarnya kau ingin anak perempuan, namun aku menginginkan laki-laki yang setampan artis korea, dan matanya sekeji matamu, sehingga kau mengalah, mengiyakan apapun mauku.
Tapi selanjutnya takdir Tuhan menyeret kita ke sebuah peristiwa di malam purnama itu, hingga aku terbunuh di sana, dan mereka menyeretmu ke penjara Nusa Kambangan, selama dua puluh tahun lamanya.
Dua puluh tahun kini telah terlewati, tidak terasa. Tetapi sebagian rambutmu kini telah pudar, dan matamu melihat tak sebaik dulu. Setelah terbebas dari penjara, kau bekerja sebagai buruh cuci di warung nasi padang di pingiran Cilacap. Semua kau lakukan demi bisa menyambung hidup, terutama untuk mengumpulkan uang guna membeli tiket kereta api dan pulang ke Jakarta.
Hanya butuh waktu tiga bulan dan uangmu telah terkumpul. Kau pamit kepada pemilik warung nasi padang dan tak lupa memeluknya—dan tangismu meledak di antara ucapan terima kasih yang terbata dan tak henti-henti. Pemilik warung berkata, “Seseorang pasti punya masa lalu, tapi kenyataannya, ia harus tetap bertahan demi menjalani kehidupan di masa yang sekarang.” Dan perkataan itulah yang selalu kau ingat saat di perjalanan, di atas kereta api yang kau tumpangi.
Pada akhirnya, tepat di pertengahan Bulan Juli, kau kembali ke Jakarta dan mengirup udaranya yang terbuat dari asap kendaraan, debu jalanan, serta bau comberan dan juga parit pesing—lebih-lebih di pinggir rel kereta api kau dapati seonggok bangkai anjing dibiarkan membusuk, lalu lalat segera merubungnya. Kau pikir, sebagaimana bangkai anjing itu, segala sesuatu pasti akan membusuk pada waktunya. Kecuali satu hal...
... yaitu kenangan.
Aku tahu, setelah sampai di kota ini, hal pertama yang ingin kau cari adalah rumah kita. Tapi percuma. Tidak ada yang tersisa lagi di sana. Suratsurat penting—termasuk surat identitas kita—sudah raib semuanya diambil aparat di malam purnama itu, dan mereka juga membakar rumah kita hingga habis tak bersisa. Laptopmu pun turut hangus, dan foto-foto pernikahan kita benar-benar menjadi abu bersamanya. Sehingga apabila kau tetap ingin pergi ke sana, maka kujamin bahwa aroma kenangan pun sudah tidak akan kau cium lagi baunya—kecuali hanya aroma hangus puing-puing yang tersisa, setelah semua yang terjadi dua puluh tahun lamanya.
Atau malah, kau masih berharap anakmu bisa selamat?
Dengar, Mas. Yang kau harus tahu, anakmu sudah tumbuh menjadi bocah yang periang. Dia tampan, bahkan lebih tampan dari artis korea, serta punya mata lebih keji daripada matamu itu. Yang kau harus tahu lagi, anakmu kerap mengunjungimu selama kau mendekam di penjara, bersama dua sosok malaikat yang menyala, lalu saat di depanmu, dia akan memelukmu, mendekapmu, sembari berkata jangan sedih, ayah, jangan sedih, ayah, tapi kau tak pernah menyadari itu.
Tetapi, Mas, jika kau masih bersikeras merindukanku, maka datanglah ke makam pinggir desa. Aku dikuburkan di sana, bersama anak kita yang bahkan belum sempat diberikan nama. Dan taburlah bunga-bunga sebanyak yang kau mau. Dan hamburkan tangisanmu sekuat yang kau bisa. Tetapi biar kukatakan satu hal kepadamu.
Demi semua yang pernah terjadi di antara kita, kini, tugasmu tinggal satu.
“Lupakan Jakarta.”
Yogyakarta, Ujung Januari 2021
0 Comments