[cerpen] NINA BOBO

cerpen karya: HARAS
Pemenang pertama Lomba Cerpen Kilas Balik 2018 - Novelme


ilustrasi via pixabay: smengelsrud



       Nina bobo oh nina bobo.

       Kalo tidak bobo digigit nyamuk.

     Lagu sederhana yang masih menyisakkan pertanyaan tentang siapa penciptanya, selalu berhasil membuatku terlelap. Nada-nada yang tersulam dari suara lembut bunda bagaikan seorang penyihir yang sedang mengucap mantra, membuat jiwaku seketika tergelincir jauh ke alam mimpi. Sesekali bunda mengusap rambutku, tersenyum, kemudian pergi meninggalkanku di dalam kamar gelap setelah mengecup keningku 2 kali dengan lembut. Sesekali pintu kamar berdecit lirih saat ayah ingin memastikan kembali bahwa aku sudah terlelap.

        Namun percayalah, semua itu hanya terjadi di tahun lalu.

****

     “Butir-butiran debu yang menempel di wajahmu, lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya, Bunda,” kata ayah di pantai malam itu masih bisa aku kenang dengan jelas. Meski usia ayah sudah tidak terbilang remaja, dan terutama meski ayah bukanlah pujangga, namun ia seringkali mengucapkan kata-kata indah untuk bunda—saat itu bunda pun jadi malu dibuatnya.

        “Kau pandai membual,” sergah bunda bersama rona merah di pipinya.

        “Membual untuk membahagiakan istri itu boleh-boleh saja. Halal,” jawab ayah.

        “Tapi tanpa membual pun aku sudah bahagia.”

        “Kenapa?” Dahi ayah bergambar tanda tanya.

       “Sebab kamu sosok ayah yang bertanggung jawab untuk Nina, anak kita.” Bunda berkata dengan penuh kejujuran, sebelum akhirnya pembicaraan mereka terhenti, ditelan lamunan-lamunan yang sulit kutafsirkan. Diam-diam aku mengamati. Sebentar-sebentar kaki ayah menyentuh kaki bunda. Sebentar-sebentar mata mereka saling pandang. Dan mereka benar-benar terlanjur membiarkan cinta. Seperti terlanjurnya mereka yang pada akhirnya membiarkan aku hidup sebatang kara.

       Dan kini, aku hidup berteman dengan sepi. Mereka telah pergi dan tak akan kembali. Di kota ini, aku sudah tidak punya apa-apa lagi—kecuali hanya sayatan-sayatan luka yang masih membekas dalam dada.

       Padahal tahun lalu kami adalah keluarga kecil yang hidup berbahagia. Meski ayah hanya bekerja sebagai buruh pabrik, dan bunda harus menjahit demi menambal kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, tapi kami tetap hidup bahagia.

       “Jangan mudah mengeluhkan,” kata ayah suatu kali. “Orang mengeluh menandakan dirinya tidak bersyukur, Nina. Maka hiduplah dengan selalu mensyukuri nikmat Tuhan.”

       Aku mengangguk, mencoba memahami permasalahan yang sebenarnya sedang dihadapi di keluarga kecil ini. Masalah uang, kan? “Nina mau bantu ayah mencari uang,” kataku mantap.

       Namun ayah malah terbahak. Katanya, “Kamu masih kecil, Nina. Masih lima tahun.” Lalu dibungkukkan badannya sehingga wajah kami kini saling berhadapan. “Sekolah saja dulu yang rajin, ya? Kamu janji sama ayah?”

       “Nina janji!” kataku dengan lebih mantap. “Yasudah kalo begitu, Nina berangkat sekolah dulu.”

       Kembal ayah malah terbahak. Bahkan kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Jangan terlampau rajin, Nina. Ini kan hari minggu.”

       “Oo?? Hehehee. Iya. Lupa aku tuh.” Begitulah dan kami pun saling bertukar tawa.

       Diam-diam dari balik pintu bunda mendengarkan perbincangan kami. Diam-diam juga bunda telah menyiapkan bekal. Seperti sudah menjadi tradisi, jika hari minggu datang, maka waktunya kami jalan-jalan.

       Dan meski aku sangat senang jalan-jalan, tapi tidak untuk jalan-jalan kali ini. Dan kau akan tahu penyebabnya setelah usai membaca cerita di bawah ini.

       Siang itu di bawah beringin besar di alun-alun tengah kami berteduh. Duduk saling berdampingan, di atas klasa lusuh yang sengaja kami bawa dari rumah. Bunda mengeluarkan bekal, sedang ayah ingin memesan es kelapa muda.

       “Satu butir saja ya, Bunda,” kata ayah. “Satu butir untuk bertiga.” Dikeluarkannya uang receh dari sakunya. Bunda mengangguk dan tangannya masih sibuk mengambilkan aku lauk.

       Bunda menyerahkan piring plastic yang berisi nasi putih, sayur lodeh, ikan asin dan taburan bawang goreng. Meski bekal kami sederhana, tapi karena masakan ini hasil karya bunda, maka yang sederhana itu berubah jadi resep bintang lima.

       Kepiawaian bunda dalam hal memasak memang tidak perlu diragukan lagi. Bunda selalu bisa menghasilkan masakan luar biasa dari bahan-bahan sederhana. Saat di dapur—maksudnya ruangan sempit yang terletak di pojok belakang rumah—aku kerap mengamati bagaimana ia mencuci bahan-bahan, memotong-motong sayur, lalu menuangnya dalam panci.

       “Kau tahu, Nina? Yang menjadi rahasia agar masakan lebih sedap bukan pada bahan-bahannya, bukan pula pada teknik memasaknya.” Aku diam, menunggu kelanjutan kalimatnya. “Tapi di sini.” Bunda menunjuk dadaku. “Di hati pemasaknya,” lanjutnya dengan tersenyum.

       Senyum itu juga dipamerkan saat menyerahkan piring plastik siang ini. Matahari berada tepat di atas kami, tapi cahayanya terhalangi rimbun beringin tua. Tiba-tiba ada yang menarik di antara lauk-pauk. Segera aku meminta ‘sesuatu’ yang berwarna merah menyala di dalam piring bunda.

       “Jangan, Nina. Ini sambal. Rasanya pedas.” Bunda bergaya seperti orang mengulum bara api di mulutnya. “Huh-haaah!” Ia mengibaskan tanganny. Lucu sekali. Aku tertawa melihatnya. Ayah juga menertawakan aku yang tertawa. Bahkan penjual es kelapa yang baru datang ikut pula tertawa.

       “Satu untuk bertiga?” tanya penjual es kelapa.

       “Ya, satu untuk bertiga,” jawab ayah.

       Ya, satu untuk bertiga, batinku meniru-niru perkataan ayah.

       Penjual es kelapa itu lalu pergi dengan meninggalkan kelapa muda bersama tiga alat penyedot berwarna kuning yang menarik hatiku.

       Satu sedotan untuk ayah, pikirku. Satu lagi untuk bunda, dan sisanya tentu untuk aku. Kami pun lantas menyedot sedotan masing-masing secara bergantian. Ayah sekali, bunda sekali, dan aku sekali. Bergantian. Namun saat didapati air kelapa hampir habis kami jadi saling berebut tidak peduli. Di antara kami tidak ada yang mengalah. Kami mulai minum bersamaan, membuat kening saling bertabrakan.

       Ayah menyalahkan aku. Aku menyalahkan bunda. Dan bunda menyalahkan ayah. Kami saling menyalahkan sampai-sampai menyadari bahwa sedotan kami kini saling tertukar.

       Sore hari ayah mengajak kami ke angkringan langgangannya—warung tenda kaki lima. Lampu kuning temaram disertai bunyi radio menyambut kedatangan kami. Dari berbagai menu ditawarkan, ayah memilih dua cangkir kopi hitam dengan tiga buah pisang goreng yang masih panas, karena baru saja diangkat dari wajan. Lalu kami membiarkan semuanya tergeletak di atas meja, setelah bapak-bapak tua berpeci hitam itu menyuguhkannya.

       Beberapa menit berlalu. Ayah-bunda masih membiarkan pesanannya tergeletak di atas meja. Mereka benar-benar membiarkan kopi dingin ditelantarkan pembicaraan yang tak dapat kumengerti. Ayah berbicara sesuatu yang tak kumengerti. Bunda juga berbicara sesuatu yang tak kumengerti. Dan mereka duduk saling berdekatan, bersipandang, terpingkal-tawa dan berbicara dalam bahasa orang dewasa yang tidak kumengerti.

       Malam harinya kami pun bersepakat menikmati desiran air laut di bibir pantai.

Beralaskan pasir putih, kami duduk berhimpitan di bawah lampion raksasa yang menggantung redup di ketinggian langit malam. Udara asin merambati tubuh kami. Lam-lama terasa dingin. Dan itulah yang membuatku segera memeluk tubuh bunda.

       Malam meremang di ketinggian. Dan angin mulai memainkan poni di rambutku, menggelitik ketiakku, dan meniup alis bunda yang melengkung indah itu. Bunda berkedip, malah ayah yang jadi malu. Ayah salah paham rupa-rupanya.

       “Mengapa kau berkedip, Bunda?” tanya ayah hendak meluruskan.

       “Ada debu di wajahku.”

       Ayah terdiam—wajahnya menghadap langit dengan penuh penghayatan.

       “Butir-butiran debu yang menempel di wajahmu, lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya, Bunda.”

       Bunda tersipu mendengarnya. Ayah merasa senang melihatnya. Terlihat wajah ayah yang merasa puas dan bangga, sebab berhasil menitikkan noda merah di pipi bunda. Namun sayang, kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Karena tiba-tiba sesuatu terjadi.

       Berita buruk!

       Di tengah hamparan laut lepas, tepatnya di depan mata kami, aku melihat sesuatu yang besar dan menjulang tinggi. Sesuatu yang besar itu berwarna hitam pekat, bergulung-gulung mengeluarkan bunyi seperti bising pesawat tempur. Dan malam yang gelap itu menjadi makin gelap, ketika mataku mendadak memejam rapat.

       Sesuatu yang ganas telah menerkam kami...

       Tsunami selat sunda 2018.

****

       Nina bobo oh nina bobo,

       kalo tidak bobo digigit nyamuk.

       Bobolah bobo anakku sayang,

       kalo tidak bobo digigit nyamuk.

       Suaranya masih terngiang, seolah sedang menimang-nimang agar aku segera tergelincir ke alam mimpi. Bahkan sampai saat ini aku mendengarnya di hampir tiap malam. Aku berdoa agar semua yang telah terjadi hanyalah mimpi. Dan aku pun berdoa, agar ayah dan bundalah yang akan membangunkanku untuk pergi ke sekolah di esok pagi.



Salam dari kami yang ikut berbela sungkawa,

Negeri Atas Awan, Januari 2019.

Post a Comment

0 Comments