Kampung Adat Bena

Setelah puas berpetualang di Ende (danau 3 warna Kelimutu dan rumah pengasingan Bung Karno), kami melanjutkan perjalanan ke Bajawa kabupaten Ngada untuk mengunjungi kampung Adat Bena. Katanya sih kampung ini merupakan salah satu kampung zaman megalitikum. Itu yang membuat saya penasaran dengan tempat ini.

Tanggal 26, dari rumah pengasingan Bung Karno, setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Bajawa. Perjalanan dari Ende ke Bajawa memakan waktu sekitar 3 jam lebih, kami menggunakan transportasi mobil travel.


Sore hari kami telah sampai di Bajawa, kami lalu bergegas mencari penginapan sebelum gelap. Dan untung saja kami tidak terlalu sulit menemukannya. Oya, di sini Angga sudah bergabung lagi bersama kami. Menyewa 2 kamar homestay, satu untuk Ika dan Ana, satu lagi untu saya, Angga, dan mas Fajar. Hawa daerahnya sangat dingin, sya baru pertama kali ke sini.

Setelah membersihkan diri, kami beristirahat sambil membicarakan rencana perjalanan besok. Kami akan berangkat agak pagi, agar mudah menemukan transportasi dan sampai di tujuan sebelum hari terasa panas. Setelah semua rencana dan persiapan fix, kami semua tidoooor.

Pagi-pagi sekitar jam 7 kami beranjak dari homestay untuk mencari transportasi menju kampung adat Bena. Bertanya kepada warga transportasi apa yang biasa dipakai. Ada travel dan bisa juga menggunakan motor, tapi sekali lagi sangat sulit menemukan penyewaan motor di sini. Jadi kami kembali menggunakan travel. Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam lebih, jam 9 kami sampai di kampung adat Bena.
Ini merupakan kampung adat kedua yang saya kunjungi di daratan Flores, setelah tahun lalu saya ke Wae Rebo. Jika dibandingkan, akses ke sini sangat mudah, tidak sesulit ketika menuju ke Wae Rebo. Berbeda pula dengan Wae Rebo, kampung adat Bena memiliki banyak rumah dan tidak berbentuk kerucut. Suasana purba sangat terasa begitu masuk ke sini, karena memang tampak seperti desa kuno. Eits jangan salah, demi kepentingan pariwisata, di sini sudah ada aliran listrik dan juga akses internet. Meskipun begitu, keaslian kampungnya tetap dijaga.

Lokasi di tengah hutan dan tepat dibawah gunung Inerie yang megah, membuat pemandangan di desa adat Bena ini semakin memanjakan mata. Selain menikmati sembari berfoto, kalian juga bisa membeli suvenir khas berupa kain atau selendang tenun khas Bajawa. Oya, ketika masuk, di loket kalian akan dipinjamkan selendang/ikat kepala khas, bisa dipakai untuk properti foto, tapi tidak boleh dibawa pulang. Ada juga fasilitas untuk menginap di kampung ini bagi wisatawan yang ingin. Kami cuma petualang low budget, jadi hanya berkunjung dan mengabadikan momen saja :D

Dua jam kami habiskan waktu untuk menikmati kampung megalitikum ini, akhirnya sudah terobati rasa penasaran saya mengenai kampung adat Bena. Dari sini, tengah hari kami kembali ke homestay, berkemas-kemas dan mempersiapkan diri menuju rumaaah. Serunya mas Fajar bersama Ika dan Ana, mau diajak ikut ke rumah, hitung-hitung beristirahat menghabiskan liburan sebelum kembali ke lokasi SM3T. Angga langsung ke Labuan Bajo, untuk melihat komodo.

Tapiii sebelum menuju ke rumah saya (di Reo), kami berhenti di Ruteng. Mereka berempat ingin mengunjungi kampung Wae Rebo. Nah karena sebelumnya saya sudah pernah ke sana, saya menunggu mereka di Ruteng. Mas Fajar, Ika, Ana, dan Angga berangkat mengunjungi Wae Rebo dan menginap satu hari di sana. Setelah kembali (tidak saya ceritakan, karena saya tidak ikut, gatau), kami langsung melanjutkan perjalanan ke rumah. Sedangkan Angga melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo.

Sekian cerita singkat kami di kampung Adat Bena. Kalau ada mood mungkin saya akan melanjutkan cerita mengenai apa yang kami lakukan kampung halaman saya, mungkin tentang keseharian di desa selama mereka stay di rumah. Kalau tidak ya, selesai sampai di sini saja ceritanya :D

Post a Comment

0 Comments